Pembelajaran Kolektif

Apa yang membuat manusia begitu berbeda (lebih spesial) dibanding spesies lain di muka bumi ini?

Saya sempat melempar pertanyaan tersebut di twitter dan mendapat beberapa respon.

Oke, saya pikir jawaban-jawaban tersebut benar semua, walaupun masih belum sesuai dengan yang saya harapkan. Saya sebenarnya mengharapkan ada jawaban ‘ruh’ atau roh. Bukankah itu yang (paling tidak bagi kaum beragama) membedakan kita dengan makhluk lainnya? Lebih jauh lagi, menurut ajaran Kristen, manusia itu segambar dan serupa dengan Allah (Kejadian 1:26-27). Saya tidak akan membahas apakah wujud dan rupa Allah memang benar-benar seperti manusia. Saya juga tidak akan membahas apakah ayat tersebut harus ditafsirkan secara telanjang, atau perlu mencari makna yang tersirat di dalamnya. Yang saya tahu, jelaslah bagi kaum beragama (samawi), manusia itu mulia dan lebih spesial dibanding dengan makhluk/spesies lainnya.

Ditinjau dari sudut pandang lainnya, ada pula yang menyebutkan akal, hati nurani, dan kreativitas lah yang memosisikan manusia di atas makhluk lainnya. Jika pertanyaan yang saya ajukan di awal tadi itu ditanyakan ke saya sendiri, maka jawaban yang akan saya berikan adalah bahasa. Binatang hanya dapat berkomunikasi dengan sesamanya menggunakan bahasa binatang, yaitu ‘bahasa tubuh’, suara-suara khas, dan naluri mereka. Sedangkan manusia punya bahasa baik lisan maupun tulisan yang menjadikan manusia begitu beradab.

Tapi kemudian saya mendapati bahwa ternyata hal mendasar yang membedakan manusia dan membuatnya menjadi makhluk yang spesial bukanlah hal-hal di atas. Bahasa pun ternyata hanya sebuah alat. Hal mendasar yang membedakan manusia dan spesies lain adalah collective memory (memori kolektif), yang bersumber dari collective learning (pembelajaran kolektif). Apa itu memori kolektif? Secara sederhana, memori kolektif adalah memori yang tersimpan dalam otak kita, yang berasal dari sebuah pembelajaran, yang kemudian dibagikan kepada orang lain sehingga memori/pengetahuan tersebut terus bertambah. Setiap manusia memiliki memori kehidupannya masing-masing. Tapi darimana kita bisa mengetahui kehidupan dan pemikiran-pemikiran seorang Soekarno? Bukankah kita tidak memiliki memori tentang kehidupannya? Jawabannya adalah dari memori kolektif. Kisah hidup Soekarno tersebut dicatat dalam sejarah. Dari catatan-catatan/tulisan-tulisan itulah kita membacanya, dan kemudian tersimpan dan ditambahkan sebagai memori (kolektif) dalam otak kita. Kita tidak perlu dipenjara dan diasingkan terlebih dahulu untuk dapat melahirkan pemikiran tentang negara dan nasionalisme seperti yang dialami oleh Soekarno. Kita cukup belajar tentang pemikiran-pemikiran Soekarno dalam bentuk catatan/tulisan baik dari dia sendiri, maupun orang lain yang menuliskannya, dan pemikirannya tentang negara pun bisa kita ‘miliki’.

Memori kolektif memampukan kita manusia untuk belajar dari masa lalu dan merencanakan masa depan. Sesuatu yang tidak dimiliki makhluk lainnya. Setelah saya pelajari lagi, ternyata memang inilah yang benar-benar membedakan manusia dan spesies lainnya.

collective-learning

Binatang tentu punya akal, walaupun sangat terbatas. Hati? Nurani? Ah, itu semua hanya kiasan. Semua itu ada di dalam otak kita. Hati (liver) kita tidak memiliki fungsi “menentukan pilihan” seperti yang kita kira. Kreativitas pun tidak didominasi manusia. Saya pernah melihat berita ada gajah yang bisa melukis. Mungkin juga ada hewan-hewan lain yang bisa menciptakan karya-karya seni yang terbatas, yang tentu saja hanya akan dianggap sebagai sebuah kebetulan oleh kita manusia. Di internet bahkan banyak berseliweran foto-foto yang menunjukkan bahwa binatang pun bermoral. Tidak kalah dengan manusia.

gajah-melukis

Lihatlah masa lalu, saat keadaan manusia primitif. Apa manusia berpakaian (dengan pantas)? Tidak. Apa manusia punya bahasa yang kompleks seperti sekarang? Tidak. Apa manusia punya teknologi? Tidak. Apa yang membedakan manusia dengan binatang lainnya selain fisik? Hampir tidak ada.

Sekarang, kita melihat bahwa umat manusia, walaupun secara fisik bukan yang terkuat, namun makhluk bernama manusialah yang saat ini berhasil ‘menaklukan’ bumi ini. Semuanya itu berkat memori kolektif hasil dari pembelajaran kolektif. Sejarah, sains, filsafat, bahasa, seni, ekonomi, teknologi, dan pembelajaran kolektif lainnya akan dapat terus membuat manusia maju. Dulu dinosaurus dan banyak spesies purba lainnya punah karna mereka tak dapat mengantisipasi bencana-bencana alam yang terjadi. Saat ini manusia bahkan dapat memanipulasi cuaca dan memprediksi kapan bencana akan terjadi. Banyak teknologi yang sangat luar biasa yang akan menjamin kelangsungan hidup umat manusia. Yang sekaligus juga dapat menghancurkan segalanya.

Hanya manusialah spesies yang berperang, yang membunuh jutaan nyawa. Spesies lain tak melakukannya. Memang ada binatang buas yang membunuh dan memangsa binatang lainnya, tapi itu untuk bertahan hidup. Tak ada binatang yang memangsa demi gengsi dan tak ada binatang yang membunuh karna merasa terhina. Perut kenyang, semua senang.

animal

Lihat sekeliling kita, dunia sudah melai penuh sesak oleh banyaknya manusia, padahal luas dunia tak bertambah. Menurut Malthus, jumlah penduduk cenderung untuk meningkat secara geometris (deret ukur), sedangkan kebutuhan hidup riil dapat meningkat secara aritmatik (deret hitung). Akibatnya, jumlah populasi akan mengalahkan pasokan makanan, yang menyebabkan berkurangnya jumlah makanan per orang. Dan Brown, dalam novel terbarunya, Inferno, secara cerdas mengangkat isu ini. Penipisan ozon, kurangnya air, kelaparan, kemacetan, dan polusi bukanlah penyakit, melainkan hanya gejala-gejalanya. Penyakit sebenarnya adalah overpopulasi. Tak peduli sebagus apapun sebuah wilayah, jika terjadi overpopulasi, maka problem-problem seperti yang telah disebut di atas akan terjadi dan itu harus dihentikan. Menurut saya, hal paling utama yang harus dilakukan adalah mengedukasi masyarakat. Mencegah selalu lebih baik dari mengobati, dan pendidikan/pembelajaran adalah pencegah yang baik.

Saya pernah mendengar kata-kata yang kira-kira seperti ini bunyinya, “terkadang ketidaktahuan itu menenangkan”. Jika memang benar-benar menenangkan, saya mempersilakan. Tapi jika terjadi sesuatu yang tidak menenangkan, dan kita tetap berada dalam kondisi ketidaktahuan, itu adalah neraka. Saya selalu tidak setuju dengan ungkapan “orang bodoh lebih bahagia daripada orang pintar”. Saya bahkan tidak yakin orang-orang bodoh tau apa itu kebahagiaan. Memang banyak orang pintar yang terlihat tidak bahagia, namun itu hanya karena mereka mungkin belum belajar cara bahagia. Ya, cara mencapai kebahagiaan sudah tentu bisa dipelajari. Dan kita bertemu lagi dengan kata belajar. Saya tak bisa mengungkapkan dengan cukup kata, betapa pentingnya belajar. Lifelong Learning. Belajarlah seumur hidup, dan jangan lupa untuk membagikannya. Pembelajaran kolektif inilah yang akan membuat adanya harapan masa depan yang lebih baik bagi anak-cucu kita.

Leave a comment