Kritik Atas Modernisme

Mengapa “takhayul” masih subur di negeri ini,
jika bukan karena tanah ini mengandung roh-roh?

Jika bukan lantaran roh-roh masih bersemayam di tanah ini, tentulah karena hal lain.

Yaitu karena kita masih merasa ada yang salah dengan “takhayul”?

Tapi mengapa kita menganggap salah “takhayul”?

Karena kita telah berkenalan dengan cara pikir modern. Kesadaran modern membebaskan manusia dari takhayul, dari batas dan ketakutan yang disebabkan oleh hal-hal yang tidak bisa dibuktikan dan diterangkan akal sehat.

Persoalannya, itu hanya pengandaian saja. Sebab, kesadaran modern ternyata tak bisa membebaskan manusia dari takhayul. Sebab, hanya sebagian yang bebas. Sebagian lagi tidak.

Lantas, siapakah yang terbebaskan, dan siapa yang tidak terbebaskan?

Yang terbebaskan adalah mereka yang mendapat keuntungan dari kesadaran modern. Yang tidak terbebaskan adalah mereka yang tidak mendapat keuntungan dari kesadaran modern.

Celakalah bapak-bapakmu, sebab tidakkah Marx –yang mereka setankan itu– benar belaka?

(Inilah bapak-bapakmu: mereka yang sejak ’65 menghabisi orang-orang komunis, mereka yang memakai cara-cara militer, mereka yang memaksa orang untuk beragama dan lebih parah lagi hanya menyediakan lima agama, mereka melarang Marxisme.)

Sebab perkataan setan itu lebih benar daripada dirinya sendiri. Setan itu mengira bahwa jika nilai-nilai tradisional, manusia pun terbebaskan dari takhayul.

Yang terjadi: institusi modern menggantikan institusi tradisional dalam hal menghisap kelas yang tidak mendapat keuntungan dari kesadaran modern.

Contoh:
1) pemilik modal, dalam hal ini perusahaan penambangan batu, ikut membiayai ritual sajenan demi mendapat “izin spiritual” untuk eksploitasi;
Mereka mau membuat sesajen atau menanam kepala kerbau, jika dengan begitu mereka dimudahkan. Tapi jika mereka bisa menghilangkan pemborosan, itu adalah yang paling baik. Yang paling hemat dan menghasilkan paling banyak, itulah yang terbaik.

2) penguasa memainkan dongeng hantu cekik untuk membikin ketakutan dan kebingungan dalam massa-rakyat, agar massa-rakyat mudah dipecah belah dan dikuasai. Dengan demikian, kekuasaan mereka dilanggengkan.

Kesimpulannya: kesadaran modern bukanlah pembebasan. Kesadaran modern adalah alat.

Celakanya, ia lebih alat kepentingan individu atau segolongan orang. Ini membuatnya bisa lebih buruk dari takhayul. Sebab, takhayul adalah alat untuk menjamin kepentingan hidup bersama. Kepercayaan tentang roh penjaga hutan adalah alat untuk menjaga alam yang merupakan milik bersama.

Modernisme memiliki yang jalan lurus, tapi tidak tujuan yang lurus.

Takhayul memiliki tujuan yang lurus, tapi tidak jalan yang lurus.

Modernisme adalah alat untuk memperalat.

Takhayul adalah alat untuk diperalat.

Tapi, sekali lagi, mengapa takhayul masih subur di negeri ini…
…jika bukan lantaran masih banyak rakyat yang tidak mendapat keuntungan dan pembebasan oleh kesadaran modern?

Pengetahuan tentang harga marmer seratus ribu di kota tidak membuat tukang batu di Sewugunung bisa menjual marmer kampung halaman dengan harga lebih daripada seribu.

Kesadaran bahwa pendidikan akan mencerdaskan bangsa tidak membuat mereka bisa pergi ke sekolah. Karena belum tentu ada sekolah. Kalaupun ada, belum tentu ada uang.

Jika demikian, apa lebihnya kesadaran modern dari takhayul?

Takhayul, dari akar kata yang sama dengan kata “khayal”. Artinya hal-hal yang bersifat khayal belaka.

Tapi sekolah tinggi dan harga marmer di kota juga bersifat khayal belaka bagi tukang batu. Fasilitas modern adalah takhayul juga. Takhayul baru.

Dengan demikian, kita jangan salah menganggap takhayul lama karena ia bersifat takhayul. Sebab demikian jugalah, segala yang tak terjangkau juga takhayul.

Bukan takhayulnya yang salah, tapi perbuatannya.

Jika buahnya baik, maka baiklah dia, meskipun pohonnya khayalan belaka.

Maka, jika kita tinggalkan sejenak kesadaran modern itu, tahulah kita bahwa tak ada yang salah dengan takhayul.

Sebab, tanah ini memang –sungguh, memang– masih merupakan tempat bersemayam roh-roh. Di pohon-pohon keramat memang masih ada mambang yang menunggu. Di hutan-hutan belantara ada demit yang menghuni. Di tebing-tebing ada siluman yang menjaga. Pesan mereka satu: Jangan merusak rumah kami, yaitu bumi di mana engkau hidup sekarang.

[Catatan Parang Jati yang tak pernah diterbitkan, 1995]

Leave a comment